Banyak faktor yang mempengaruhi untuk tumbuhnya belajar mandiri, yaitu :
1.Terbuka terhadap setiap kesempatan belajar, belajar pada dasarnya tidak dibatasi oleh waktu, tempat dan usia
2.Memiliki konsep diri sebagai warga belajar yang efektif, seseorang yang memiliki konsep diri berarti senantiasa mempersepsi secara positif mengenai belajar dan selalu mengupayakan hasil belajar yang baik
3.Berinisiatif dan merasa bebas dalam belajar, inisiatif merupakan dorongan yang muncul dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh orang lain, seseorang yang memiliki inisiatif untuk belajar tidak perlu dirangsang untuk belajar.
4.Memiliki kecintaan terhadap belajar, menjadikan belajar sebagai bagian dari kehidupan manusia dimulai dari timbulnya kesadaran, keakraban dan kecintaan terhadap belajar.
5.Kreativitas. Menurut Supardi (1994), kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun kerja nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya.
Ciri perilaku kreatif yang dimiliki seseorang diantaranya dinamis, berani, banyak akal, kerja keras dan bebas. Bagi seseorang yang kreatif, tidak akan kuatir atau takut melakukan sesuatu sepanjang yang dilakukannya mengandung makna.
6.Memiliki orientasi ke masa depan
Seseorang yang memiliki orientasi ke masa depan akan memandang bahwa masa depan bukan suatu yang mengandung ketidakpastian.
7.Kemampuan menggunakan keterampilan belajar yang mendasar dan memecahkan masalah.
Sumber : http://www.idonbiu.com/2009/05/faktor-faktor-yang-mempengaruhi.html
Sampai saat ini, belajar mandiri dikenal sebagai salah satu sistem pembelajaran yang diterapkan dalam pendidikan terbuka atau jarak jauh. Tidak semua orang memahami dengan baik konsep belajar mandiri, bahkan akademisi. Berdasarkan pengalaman penulis, di kampus, beberapa akademisi (mahasiswa) masih banyak yang belum memahami betul tentang konsep belajar mandiri atau istilah terkait lain seperti belajar individual, belajar sendiri, belajar terbuka atau jarak jauh, dll. Ada beberapa pertanyaan fundamental yang sering muncul di kalangan akademisi: 1) apakah sebenarnya yang dimaksud dengan belajar mandiri?; 2) mengapa belajar mandiri diterapkan untuk pendidikan terbuka atau jarak jauh?; 3) apakah hanya dapat diterapkan dalam pendidikan terbuka dan jarak jauh?; 4) dapatkah diterapkan dalam pendidikan konvensional?; 5) jika jawabannya ya, mengapa dan bagaimana?
PEMBAHASAN. KONSEPSI BELAJAR MANDIRI
Ada beberapa istilah yang mengacu pada pengertian yang sama tentang belajar mandiri. Istilah-istilah tersebut antara lain adalah 1) independent learning, 2) sel-directed learning, 3) autonomous learning.1) Wedemeyer (1973) menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah cara belajar yang memberikan derajat kebebasan, tanggung jawab dan kewenangan yang lebih besar kepada pebelajar dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan belajarnya. Pebelajar mendapatkan bantuan bimbingan dari guru atau orang lain tapi bukan bearti harus bergantung kepada mereka.2)
Rowntree (1992), mengutip pernyataan Lewis dan Spenser (1986) menjelaskan bahwa ciri utama pendidikan terbuka yang menerapkan sistem belajar mandiri adalah adanya komitmen untuk membantu pebelajar memperoleh kemandirian dalam menentukan keputusan sendiri tentang 1) tujuan atau hasil belajar yang ingin dicapainya; 2) mata ajar, tema, topic atau issu yang akan ia pelajari; 3) sumber-sumber belajar dan metode yang akan digunakan; dan 4) kapan, bagaimana serta dalam hal apa keberhasilan belajarnya akan diuji (dinilai).
Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi dan sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).
KARAKTERISTIK BELAJAR MANDIRI
Belajar mandiri juga tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi merupakan suatu kontinum. Inti dari konsep belajar mandiri terletak pada otonomi belajar. Artinya, semakin besar derajat otonomi/kemandirian (peran kendali, inisiatif, atau pengambilan keputusan) diberikan oleh suatu lembaga pendidikan (guru/dosen) kepada pebelajar dalam menentukan keempat komponen diatas, maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri yang diberikan oleh suatu lembaga pendidikan tersebut. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga asoek 1) kemandirian dalam menentukan tujuan: apakah penentuan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar? 2) kemandirian dalam menentukan metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; 3) kemandirian dalam menentukan evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi serta criteria yang digunakan ditentukan guru atau pebelajar?
TUJUAN
Belajar Mandiri: antara Pendidikan Jarak Jauh dan Pola KonvensionalDengan melihat konsepsi dan karakteristik belajar mandiri diatas, maka timbul pertanyaan, “Apakah belajar mandiri hanya dapat diterapkan dalam pendidikan jarak jauh?” Mengapa pendidikan jarak jauh menggunakan sistem belajar mandiri? Apakah sistem belajar mandiri dapat diterapkan dalam pola konvensional?
Pada prinsipnya, sejauh suatu sistem pembelajaran memberikan otonomi/kemandirian yang lebih besar kepada pebelajar untuk mengendalikan belajarnya maka dapat dikatakan bahwa sistem pembelajaran tersebut menerapkan sistem belajar mandiri. Knowless mengatakan bahwa beda antara pembelajaran yang menggunakan sistem belajar mandiri dengan yang tidak dapat dilihat dari: 1) apakah pembelajaran yang digunakan lebih berpusat pada pebelajar (student centered) atau tidak; 2) apakah pembelajaran yang digunakan lebih bersifat dari bawah ke atas (bottom-up) atau tidak; dan 3) apakah pembelajaran yang digunakan lebih banyak dikendalikan oleh pebelajar (student-directed) atau guru.
KONSEKUENSI PENERAPAN SISTEM BELAJAR MANDIRI
Race (1994)13), mengidentifikasi bahwa peristiwa belajar yang optimal terjadi apabila:• Pebelajar merasa menginginkan untuk belajar (want to learn).• Belajar dengan melakukan (learning by doing) melalui praktek, trial and error dan lain-lain.• Belajar dari umpan balik (learning from feedback), baik dari orang lain (tutor, guru, teman) atau diri sendiri (seeing the result).• Mendalami sendiri (digesting), artinya membuat apa yang telah mereka pelajari masuk akal dan dapat dirasakan sendiri aplikasinya bagi kehidupannya.
SISTEM BELAJAR MANDIRI DALAM POLA PENDIDIKAN KONVENSIONAL:
CONTOH KASUS
Penulis telah mencoba menerapkan sistem belajar mandiri dalam beberapa mata kuliah yang penulis ampu. Salah satunya adalah dalam mata kuliah Pengenalan Komputer untuk mahasiswa S1 Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat menguasai minimal tiga program aplikasi komputer, yaitu MS Word, MSExcel dan MSPowerPoint. Sistem belajar mandiri ini dilakukan tiak semata-mata sebagai metode, tapi penulis mencoba melalui segala ktifitas yang dilakukan didalamnya berharap agar para mahasiswa tersebut secara tidak dapat mengembangkan keterampilan belajar mandiri.
KESIMPULAN
Sistem belajar mandiri adalah cara belajar yang lebih menitik beratkan peran otonomi belajar kepada pebelajar. Dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri pebelajar diberikan kemandirian (baik secara individu atau kelompok) dalam menentukan 1) tujuan belajarnya (apa yang harus dicapai); 2) apa saja yang harus dipelajari dan dari mana sumber belajarnya (materi & sumber belajar); 3) bagaimana mencapainya (strategi belajar); dan 4) kapan serta bagaimana keberhasilan belajarnya diukur (evaluasi).Belajar mandiri juga dapat dipandang sebagai proses (metode) maupun produk (tujuan). Sebagai proses, belajar mandiri dijadikan sebagai metode dalam sistem pembelajaran tertentu.
Sumber : http://sn2dg.blogspot.com/2008/06/sistem-belajar-mandiri.html
Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga karakteristik pebelajar itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa pebelajar mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri).
Berkaitan dengan hal ini, Candy juga membedakan antara belajar mandiri sebagai modus dalam mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan belajar mandiri sebagai individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep belajar mandiri sebagai sistem belajar dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua, menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar mandiri sebagai proses memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan “needs assessment”, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor. Dodds (1983), menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dari bahan cetak, siaran ataupun bahan pra-rekam yang telah terlebih dahulu disiapkan; istilah mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.
Dengan demikian, belajar mandiri sebagai metode dapat didefinsisikan sebagai suatu pembelajaran yang memfosisikan pebelajar sebagai penanggung jawab, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil inisiatif dalam memenuhi dan mencapai keberhasilan belajarnya sendiri dengan atau tanpa bantuan orang lain. Guru/tutor berperan sebagai fasilitator yang memungkinkan pebelajar dapat secara mandiri: 1) mendiagnosa kebutuhan belajarnya sendiri; 2) merumuskan/menentukan tujuan belajarnya sendiri; 3) mengidentifikasi dan memilih sumber-sumber belajarnya sendiri (baik sumber belajar manusia atau non-manusia); 4) menentukan dan melaksanakan strategi belajarnya; dan 4) mengevaluasi hasil belajarnya sendiri.
Pembelajaran dengan sistem belajar mandiri mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dengan pendidikan dengan sistem lain. Knowles (1975) menyatakan bahwa sistem belajar mandiri bukan cara belajar yang tertutup, dimana pebelajar belajar secara sendiri tanpa bantuan orang lain. Tetapi, belajar mandiri terjadi dengan bantuan orang lain seperti guru, tutor, mentor, narasumber, dan teman sebaya. Knowles membedakan sistem belajar mandiri dengan sistem belajar tradisional dengan istilah pedagogi dan andragogi. Konsep pedagogi memandang pebelajar sebagai obyek, dalam hal ini pebelajar diajarkan (being taught) tentang sesuatu. Sedangkan konsep andragogi memandang pebelajar sebagai subyek, peran guru adalah membantu belajar.
Kozma et.al.(1978), senada dengan Knowles, membedakan sistem belajar mandiri dengan belajar individual, seperti pembelajaran berbantuan komputer, proyek yang ditugaskan oleh guru dan lain-lain. Sistem belajar mandiri memberikan peluang kepada pebelajar untuk menyesuaikan diri dengan tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajar yang sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan pada belajar individual, kesempatan untuk hal ini tidak ada. Semuanya telah ditentukan oleh guru atau pembuat program secara “top-down”, baik dari segi tujuan, sumber belajar dan kegiatan-kegiatan belajarnya.
Karakteristik utama pendidikan dengan sistem belajar mandiri adalah tanggung jawab dalam mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri berada ditangan pebelajar. Karakteristik umum lainya, menurut Institut for Distance Education of Maryland University, pendidikan dengan sistem belajar mandiri memiliki karakteristik: 1) membebaskan pebelajar untuk tidak harus berada pada satu tempat dalam satu waktu tertentu; 2) disediakannya berbagai bahan (materials) termasuk panduan belajar dan silabus yang rinci serta akses ke semua anggota fakultas (penyelenggara pendidikan) yang memberikan layanan bimbingan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pebelajar, dan mengevaluasi karya-karya para pebelajar; 3) komunikasi antara pebelajar dengan instruktur atau tutor dicapai melalui satu atau kombinasi dari beberapa teknologi komunikasi seperti telepon, voice-mail, konferensi melalui komputer, surat elektronik, dan surat-menyurat secara reguler.
Namun demikian, ketiadaan atau keterpisahan jarak (kelas), antara pebelajar dengan fakultas (tutor) dan pebelajar lainnya, bukan merupakan karakteristik utama dari pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Pernyataan ini menjelaskan bahwa sistem belajar mandiri tidak hanya terjadi dalam pendidikan jarak jauh dimana antara pebelajar dan guru terpisah oleh jarak dan waktu. Dalam pendidikan konvensional sekalipun, apabila pebelajar diposisikan sebagai subyek dimana mereka diberi tanggung jawab untuk mengendalikan dan mengarahkan belajarnya sendiri, maka dapat dikatakan bahwa pendidikan tersebut menggunakan sistem belajar mandiri.
Wedemeyer (1968), seperti dikutip oleh Keegan menyebutkan sepuluh karakteristik sistem belajar mandiri. Kesepuluh karakteristik tersebut meliputi: 1) sistem harus dapat dilakukan disemua tempat dimana terdapat pebelajar, walaupun hanya satu orang pebelajar, baik dengan atau tanpa kehadiran guru pada saat dan tempat yang sama; 2) sistem harus memberikan tanggung jawab untuk belajar yang lebih besar kepada pebelajar; 3) sistem harus membebaskan anggota fakultas dari tipe tugas lain yang tidak relevan, sehingga lebih banyak waktu digunakan sepenuhnya untuk tugas-tugas pendidikan; 4) sistem harus menawarkan kepada pebelajar pilihan yang lebih luas (lebih banyak peluang) baik dari segi mata kuliah, bentuk, maupun metodologi; 5) sistem harus memanfaatkan, segala bentuk media dan metode pembelajaran yang telah terbukti efektif; 6) sistem harus mencampur dan mengkombinasikan media dan metode sehingga setiap topik atau unit dalam suatu mata kuliah diajarkan dengan cara yang terbaik; 7) sistem harus mempertimbangkan desain dan pengembangan mata ajar yang sesuai dengan program media yang sudah ditetapkan; sistem harus memelihara dan meningkatkan peluang untuk dapat beradaptasi dengan perbedaan-perbedaan individu; 9) sistem harus mengevaluasi keberhasilan belajar secara sederhana, dengan tidak harus menjadikan hambatan berkaitan dengan tempat dimana pebelajar belajar, kecepatan belajar mereka, metode yang mereka gunakan atau urutan belajar yang mereka lakukan; dan 10) sistem harus memungkinkan pebelajar untuk memulai, berhenti dan belajar sesuai dengan kecepatanya.
Namun demikian, dalam prakteknya, sistem belajar mandiri tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang diskrit, tapi lebih bersifat kontinum. Derajat kemandirian belajar yang diberikan oleh suatu lembaga (program) pendidikan kepada pebelajarnya berbeda-beda. Moore (1977) seperti dikutip oleh Keegan (1990) menyatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek: 1) kemandirian didalam menentukan tujuan: apakah pemilihan tujuan belajar ditentukan oleh guru atau oleh pebelajar?; 2) kemandirian dalam metode belajar: apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar (narasumber), dan media lain keputusannya dilakukan oleh guru atau pebelajar?; dan 3) kemandirian dalam evaluasi: apakah keputusan tentang metode evaluasi dan criteria yang digunakan dibuat oleh guru atau pebelajar? Semakin besar peran kendali atau pengambilan keputusan atau inisiatif diberikan kepada pebelajar maka semakin tinggi (murni) derajat sistem belajar mandiri dari suatu lembaga pendidikan tersebut.
Sumber : http://fakultasluarkampus.net/karakteristik-independent-learning/
Kemampuan dalam mengendalikan atau mengarahkan belajar sendiri seseorang pada dasarnya merupakan suatu kontinum. Grow (1991) mengklasifikasikan kontinum tersebut kedalam empat tahap: 1) pebelajar yang tergantung (dependent learner), 2) pebelajar yang tertarik (interested learner), 3) pebelajar yang terlibat (involved learner) dan 4) pebelajar mandiri (independent learner). Keempat tahapan model belajar mandiri tersebut dapat digambarkan seperti dalam table 2 sebagai berikut:
Model Tahapan Kecakapan Belajar Mandiri menurut Grow :
Tahap Pebelajar Peran Tutor Contoh
1 Dependent Otoriter, Pelatih Ceramah, melatih dengan umpan balik langsung, drill.
2 Interested Motivator, Pembimbing Ceramah + diskusi terpimpin
3 Involved Fasilitator Proyek kelompok, diskusi yang difasilitasi oleh tutor, seminar.
4 Self-Directed Konsultan, delegator Kerja individu, kelompok belajar.
Sumber: Grow (1991)
Berdasarkan model tahapan belajar mandiri Grow diatas, pebelajar yang mempunyai karakteristik tahap 1 dan 2 akan sangat sulit mengikuti pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Robert Kizlik (2001) mengembangkan skala kecakapan dan kesiapan belajar jarak jauh (Distance Education Aptitude and Readiness Scale (DEARS)) sebagai salah satu panduan bagi para calon mahasiswa pendidikan jarak jauh. Skala tersebut terdiri atas 15 butir pernyataan dengan skala dari 1 sampai dengan 5. Mereka yang mempunyai skor 44 kebawah, sebaiknya jangan memaksakan diri untuk mengikuti pendidikan dengan sistem belajar mandiri (dalam konteks ini, pendidikan jarak jauh).
Pebelajar dengan karakteristik tahap 3 (involved learners), telah mempunyai keterampilan dan pengetahuan serta memandang dirinya sebagai partisipan dalam belajarnya sendiri. Dalam hal ini, tutor/instruktur berperan sebagai fasilitator yang berkonsentrasi pada upaya memfasilitasi, mengkomunikasikan dan mendukung pebelajar tersebut dalam menggunakan keterampilan yang telah mereka miliki.
Pebelajar dengan karakteristik tahap 4 (self-directed learners) sudah mampu menyusun tujuan dan standar belajarnya sendiri, baik dengan atau tanpa bantuan ahli. Ia telah mampu memanfaatkan ahli, lembaga dan sumber-sumber lain untuk mencapai tujuan belajarnya. Pebelajar mandiri bukan berarti penyendiri, tapi ia telah mampu berkolaborasi dengan orang lain baik dalam klub atau kelompok belajar informal. Dalam hal ini, tutor/instruktur berperan sebagai konsultan untuk terus memberikan delegasi atau memberdayakan kemampuan belajarnya.
Dengan demikian, dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, kecakapan dan kesiapan dalam belajar secara mandiri merupakan sarat utama. Berdasarkan tahapan belajar mandiri model Grow, pebelajar yang masih memungkinkan untuk dapat mengikuti sistem belajar mandiri adalah pebelajar pada tahap 3 (involved learners) dan 4 (self-directed learners). Karakteristik pebelajar ini hendaknya menjadi pertimbangan penting bagi penyelenggara pendidikan, terutama tutor.
Berikut ini adalah beberapa rekomendasi yang diajukan oleh beberapa penulis seperti Ash, 1985; Bauer, 1985; Brocket dan Hiemstra, 1985; Brookfield, 1985; Cross, 1978; Hiemstra, 1982, 1985; dan Reisser, 1973 tentang cara terbaik tutor/instruktur dalam memfasilitasi pembelajaran mandiri: 1) bantu pebelajar mengidentifikasi cara-cara mengawali suatu proyek belajar berikut cara memeriksa dan melaporkanya; 2) ciptakan kemitraan dengan pebelajar dengan cara menegosiasikan kontrak belajar yang meliputi tujuan, strategi dan kriteria evaluasi; 3) jadilah manager pengalaman belajar dan hindarkan menjadi pemberi informasi (information provider); 4) bantu pebelajar memiliki teknik assessment yang diperlukannya untuk menemukan tujuan khusus apa yang harus ia buat; 5) Pastikan bahwa pebelajar menyadari tujuan belajar, strategi belajar, sumber-sumber belajar yang diperlukan, dan criteria evaluasi yang telah ditentukannya sendiri sebelumnya; 6) ajarkan keterampilan “inquiry”, pengambilan keputusan, pengembangan diri, cara mengevaluasi kerjanya sendiri; 7) bantu mencocokan sumber belajar dengan kebutuhan pebelajar; bantu pebelajar membangun sikap dan perasaan mandiri yang realif positif bagi belajarnya; 9) gunakan teknik-teknik yang dapat memperkaya pengalaman, seperti “problem solving” atau pengalaman lapangan; 10) kembangkan panduan belajar yang bermutu tinggi; 11) dorong kemampuan berpikir kritisdengan cara mengintegrasikan aktifitas tertentu seperti seminar; 12) ciptakan iklim keterbukaan dan kepercayaan untuk meningkatkan kinerja; 13) bantu pebelajar dari segala bentuk manipulasi dengan cara menjunjung tinggi kode etik; dan 14) berprilakulah secara etis, termasuk tidak merekomendasikan pendekatan belajar mandiri jika tidak cocok dengan kebutuhan pebelajar.
Sedangkan bagi lembaga dan karyawan lain yang terlibat dalam pendidikan dengan sistem belajar mandiri, Hiemstra (1982, 1985) dan Brocket dan Hiemstra (1985) merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1) lakukan pertemuan reguler dengan ahli yang dapat memberikan saran-saran criteria kurikulum dan evaluasi; 2) lakukan penelitian tentang kecenderungan (trend) dan minat pebelajar; 3) kembangkan alat-alat yang diperlukan untuk mengukur kinerja pebelajar saat ini dan untuk mengevaluasi kinerja yang diharapkan; 4) ingatkan dan berikan “reward” ketika mereka telah mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan sebelumnya oleh mereka; 5) kembangkan jaringan belajar, lingkaran belajar dan pertukaran belajar (learning exchange); dan 6) lakukan pelatihan staff tentang sistem belajar mandiri dan perluas peluang implementasinya.
Sumber : http://fakultasluarkampus.net/2007/07/prinsip-pembelajaran-dengan-sistem-belajar-mandiri/
Tahukah Anda, apa saja yang menjadi aspek kesiapan belajar? Aspek-aspek tersebut merupakan pilihan. Ada orang yang cocok dengan aspek ABC, sedangkan yang lain lebih cocok dengan aspek XYZ. Yang penting adalah Anda mengenali aspek yang menjadi penentu kesiapan belajar Anda. Jika Anda mengenalnya, Anda dapat mempersiapkan diri secara maksimal.
| Motivasi menggerakkan Anda untuk mencapai tujuan…..!!! |
Aspek kesiapan belajar dapat berkombinasi satu sama lain. Mungkin saja Anda adalah orang yang merasa tertantang jika melihat modul yang tebal dan banyak, Anda memilih sering membaca modul tetapi sedikit demi sedikit. Ada masa tertentu mungkin Anda suka membuat jadwal yang terstruktur, tapi melaksanakannya secara tidak terstruktur. Oleh karena itu………… |
|
|
- agar termotivasi untuk belajar, karena kelompok yang kuat biasanya akan saling memotivasi untuk belajar;
- lebih mudah memahami suatu informasi/pengetahuan, karena anggota dalam kelompok saling mengisi dalam belajar;
- adanya matakuliah tertentu yang menuntut belajar dalam kelompok sebagai bagian dari kegiatan atau tugas belajar. Sebagai contoh: kalau mahasiswa akan mempelajari mengenai dinamika kelompok, maka diperlukan kegiatan bersama kelompok untuk lebih memahami mengenai dinamika kelompok.
| Kenali kebutuhan sosialisasi Anda.
|
· Tahukah Anda mudah berkonsentrasi untuk belajar? · Tahukah Anda tahu kapan saat yang paling baik bagi Anda untuk belajar? · Tahukah Anda tahu bagaimana mempergunakan kesempatan belajar dengan efektif? · Tahukah Anda tahu bagaimana memahami materi yang Anda pelajari dengan efektif? |
Strategi belajar bersifat individual, artinya strategi belajar yang efektif bagi diri seseorang belum tentu efektif bagi orang lain. Untuk memperoleh strategi belajar efektif, seseorang perlu mengetahui serangkaian konsep yang akan membawanya menemukan strategi belajar yang paling efektif bagi dirinya.
| |
| |
| |
| |
| |
| |
|
- Media Belajar
- Strategi Belajar Efektif
Sumber : http://edingulik.wordpress.com/2008/01/10/untuk-teman-teman/